Oleh: Kafil Yamin
10 November 1994,
di langit kota Bandung, persisnya di bandara Husen Sastranegara, sebuah
pesawat lepas landas, disaksikan ribuan pasang mata. Tampilan pesawat
itu tampak elok, bertuliskan besar N-250 di badannya. Sepasang
baling-baling di kedua sayapnya menambah gagah.
Dia adalah
ikon kegagahan Indonesia – Gatotkaca. Nama tokoh pewayangan ini
tertulis pula di bagian kepala pesawat. Dan memang, N-250 ya si
Gatotkaca itu.
Selesai mengitari angkasa bandara Husein,
si Gatotkaca pun turun dan mendarat mulus. Tepuk tangan hadirin gemuruh.
Jelas sudah, tak ada yang perlu diragukan lagi dari kedirgantaraan
Indonesia. Si Gatotkaca telah membuktikannya.
N-250 memang
bisa dibilang salah satu puncak prestasi teknologi Indonesia. Pesawat
itu adalah yang tercanggih di kelasnya. Dan sangat cocok untuk kondisi
geografis Indonesia yang berbentuk kepulauan.
Dan acara
peluncuran pesawat itu tergolong ‘gila’. “Tidak pernah ada satu negara
pun di dunia ini, yang menguji-coba pesawatnya dengan mengundang media
dan utusan-utusan luar negeri. Hanya Indonesia. Ya, hanya Indonesia,”
kata seorang eksekutif PT. Dirgantara Indonesia yang saya temui pekan
lalu. Dia tak bersedia disebut namanya.
Terasa sekali,
Indonesia membutuhkan pesawat kecil yang bisa melayani masyarakat di
tempat-tempat terpencil; pulau-pulau kecil yang dipisahkan lautan; yang
selama ini hanya bisa dilayani kapal laut. Itu pun dengan jadwal
pelayaran yang jarang, karena itu perekonomian sulit berkembang.
Maka,
N-250 berarti juga kebangkitan ekonomi Indonesia – lebih khusus ekonomi
daerah. Transportasi adalah salah satu penyangga utama perkonomian
setiap masyarakat dan bangsa.
Kode N pada nama pesawat itu
berarti Nusantara, yang berarti kumpulan pulau-pulau. Ini pun
menyimbolkan bahwa rancangan, produksi dan perhitungannya dikerjakan
oleh dan di Indonesia, yakni Industri Pesawat Terbang Nusantara [IPTN],
yang sekarang bernama PT Dirgantara Indonesia [PTDI].
Si
Gatotkaca bermesin turboprop 2439 KW, bikinan perusahaan Allison.
Berbaling-baling enam bilah, ia mampu terbang dengan kecepatan maksimal
610 km/jam [330 mil/jam] dan kecepatan ekonomis 555 km/jam yang
merupakan kecepatan tertinggi di kelas turboprop 50 penumpang.
Ketinggian operasi 25.000 kaki [7620 meter] dengan daya jelajah 1480 km.
Dengan
berbagai keunggulan itu, hampir bisa dipastikan bahwa si Gatotkaca ini
akan merebut pasar penerbangan di kelas 50-70 penumpang.
Rencananya, N-250 akan dibuat empat prototipe (prototype aircraft - PA) yaitu PA-1, PA-2, PA-3, dan PA-4. Ketika itu, baru dibuat dua prototipe, yakni :
- PA-1 dengan sandi Gatotkaca, kapasitas 50 penumpang, terbang perdana selama 55 menit pada tanggal 10 Agustus 1995.
- PA-2 dengan sandi Krincing Wesi, N250-100, kapasitas 68 penumpang, terbang perdana pada tanggal 19 Desember 1996..
Tapi kenapa sejak peluncurannya si keren N-250 itu tak pernah kelihatan terbang di angkasa Nusantara?
Sebab
pertama, ekonomi Indonesia keburu diharu-biru oleh badai krisis ekonomi
regional Asia. Mata uang negara-negara Asia jatuh, termasuk rupiah,
yang nyungsep sampai 14 ribu terhadap dolar. Padahal hanya beberapa
bulan sebelumnya, tak sampai tiga ribu rupiah.
Harga
bahan-bahan yang harus beli dari luar negeri menjadi berkali-kali lipat
lebih tinggi. Dan si Gatotkaca, yang dibiayai Pemerintah ketika itu,
harus menguras APBN yang sudah defisit. Indonesia pun meminta bantuan
Dana Moneter Internasional [IMF] untuk memulihkan ekonominya. IMF
bersedia dan menyediakan dana bailout sebesar US$4,5 miliar, salah satu syaratnya mereka yang mengatur segala sesuatunya.
Dan
salah satu keputusan IMF adalah menghentikan penggunaan APBN untuk si
Gatotkaca, dengan alasan prioritas Indonesia waktu itu adalah pemenuhan
kebutuhan pangan dan papan. Orang Indonesia sedang butuh makan dan
pakaian, bukan naik pesawat. Begitu kira-kira inti alasan IMF. Tentu
logikanya tak sesederhana itu, karena orang naik pesawat pun antara lain
untuk mencari makan. Dan banyak makanan diangkut dengan pesawat.
Di
luar alasan yang memang terdengar bisa diterima itu, IMF membawa
kepentingan Paman Sam, yang sedang mengawasi tingkah militer Indonesia
di Timor Timur, Aceh dan Papua, dalam kaitannya dengan Hak-Hak Azasi
Manusia [HAM].
Dan konon, sosok si Gatotkaca ini sungguh
mengkhawatirkan Paman Sam dan para sekutunya. “Satu langkah lagi, N-250
adalah pesawat tempur,” kata eksekutif itu.
Untuk bisa
melayani penerbangan komersil, N-250 memerlukan sertifikat yang
dikeluarkan FAA [Federal Aviation Administration], yang tak lain adalah
Amerika Serikat. Klop sudah, dengan rekomendasi IMF dan kekhawatiran
Amerika Serikat, FAA tidak mau menerbitkan sertifikat terbang untuk
N-250.
N-250 adalah ancaman bagi pasar pesawat terbang
sejenisnya. Ia bukan hanya cocok untuk Indonesia, tapi juga Eropa, yang
dilayani pesawat-pesawat besar tapi harus menempuh rute-rute pendek.
Sangat tidak efisien.
Maka, banyak pihak di dunia
penerbangan internasional tak menginginkan si Gatotkaca mengangkasa.
Kekhawatiran mereka terlipur dengan kebijakan IMF dan FAA, dan N-250 pun
‘mendem’ di hangar sebagai prototipe belaka – sampai sekarang.
Namun
meskipun hanya dipajang, mesin harus secara berkala dihidupkan untuk
menjaga agar semua komponen tetap berfungsi. Dan badan pesawat serta
interiornya harus secara rutin dibersihkan. Untuk menghidupkan mesin
perlu aftur (bahan bakar), yang tentu saja harus dibeli. Pembersihan
interior dan pemeliharaan badan pesawatnya juga perlu biaya. Lama-lama,
PTDI tak kuat juga membeli aftur hanya untuk memanaskan mesin si Gatot
Kaca. Demikian juga untuk pemeliharaanya.
Pekan lalu saya
menengok si Gatotkaca di hanggarnya di PTDI. Dia sudah tidak terurus,
dan sebentar lagi jadi besi kiloan. Sedih rasanya. Prestasi yang begitu
besar tersia-siakan begitu saja. Padahal, penyiapan si Gatorkaca memakan
biaya ratusan juta dolar dan pengerahan kecerdasan putra-putra terbaik
bangsa ini. Pemerintah? Rejim penguasa lebih baik membeli pesawat asing
karena pembeliannya ada komisi untuk partai atau oknum. Waktu Megawati
berkuasa, dia malah membeli 6 pesawat sukhoi dari Rusia. Yang mengatur
pembeliannya adalah Tante Rini Suwandi yang sekarang Menteri BUMN. Waktu
itu dia Memperindag.
N-250 memang bukan pesawat tempur.
Tapi sebagai bakal pesawat tempur, ia jauh di atas Sukhoi. Dan para
perancang pesawat PTDI bisa membuatkannya untuk Pemerintah.
Cara
pembelian Sukhoi itu sebagian kredit, sebagian dibarter dengan CPO
(Crude Palm Oil), karena itulah kebun sawit dikuasai asing, dan PDIP
ingin sekali kembali berkuasa -- karena urusan pembelian sukhoi belum
selesai.
Di akhir pemerintahan SBY, B.J. Habibie tergerak
untuk menuntaskan misinya bagi bangsa Indonesia. Kali ini tidak dengan
nama N-250, tapi R-80.
Meski berganti nama, struktur badan dan
teknologi pesawatnya tak begitu berbeda. Bisa dikatakan bahwa R-80
adalah jelmaan dari N-250.
"N-250 is still the best,"
kata Habibie, dalam suatu perbincangan terbuka menyambut Hari Raya Idul
Fitri 1433 Hijriah di kediamannya di Jalan Patra Kuningan XIII,
Jakarta. Tak lama lagi, pesawat itu akan terbang bahkan dengan perubahan
yang lebih canggih – serba digital.
Namun tanpa dukungan
Pemerintah, R-80 pun sulit untuk bisa mengangkangi langit Nusantara.
Para penguasa lebih memilih Superman darpada Gatotkaca sebagai penguasa
angkasa tanah airku.
Untuk diketahui:
Berat dan dimensi N-250
- Rentang Sayap : 28 meter
- Panjang badan pesawat : 26,30 meter
- Tinggi : 8,37 meter
- Berat kosong : 13.665 kg
- Berat maksimum saat take-off (lepas landas) : 22.000 kg
0 komentar:
Posting Komentar